Senin, 24 Oktober 2011

Adipati Jipang

Adipati Jipang


 

Arya Penangsang atau Arya Jipang, adalah Bupati Jipang Panolan (sekarang cepu, blora) yang memerintah pada pertengahan abad ke-16. Ia melakukan pembunuhan terhadap Sunan Prawoto, penguasa terakhir Kesultanan Demak tahun 1549, namun dirinya sendiri kemudian tewas ditumpas para pengikut Sultan Hadiwijaya, penguasa Pajang. Riwayat mengenai Arya Penangsang tercantum dalam beberapa serat dan babad yang ditulis ulang pada periode bahasa Jawa Baru (abad ke-19), seperti Babad Tanah Jawi dan Serat Kanda. Arya Penangsang juga terkenal sakti mandraguna.

Silsilah

Menurut Serat Kanda, Ayah dari Arya Penangsang adalah Raden Kikin atau sering disebut sebagai Pangeran Sekar, putra Raden Patahraja pertama Kesultanan Demak. Ibu Raden Kikin adalah putri bupati Jipang sehingga ia bisa mewarisi kedudukan kakeknya. Selain itu Arya Penangsang juga memiliki saudara lain ibu bernama Arya Mataram.

Pada tahun 1521 anak pertama Raden Patah yang bernama Adipati Kudus (orang Portugis menyebutnya Pate Unus, dikenal juga sebagai Pangeran Sabrang Lor karena melakukan penyerangan ke Malaka yang dikuasai Portugis) gugur dalam perang. Kedua adiknya, yaitu Raden Kikin dan Raden Trenggana, malah berebut takhta. Raden Mukmin atau yang disebut juga sebagai Sunan Prawoto (putra pertama Raden Trenggana) membunuh Raden Kikin sepulang salat Jumat di tepi sungai dengan menggunakan keris Kyai Setan Kober yang dicurinya dari Sunan Kudus. Sejak itu, Raden Kikin terkenal dengan sebutan Pangeran Sekar Seda ing Lepen ("Bunga yang gugur di sungai").

Sepeninggal ayahnya, Arya Penangsang menggantikan sebagai bupati Jipang Panolan. Saat itu usianya masih anak-anak, sehingga pemerintahannya diwakili Patih Matahun. Ia dibantu oleh salah satu senapati Kadipaten Jipang yang terkenal bernama Tohpati. Wilayah Jipang Panolan sendiri terletak di sekitar daerah Blora, Jawa Tengah.

Aksi pembunuhan

Raden Trenggana naik takhta Demak sejak tahun 1521 bergelar Sultan Trenggana. Pemerintahannya berakhir saat ia gugur di Panarukan, Situbondo tahun 1546. Raden Mukmin menggantikan sebagai sultan keempat bergelar Sunan Prawoto.

Pada tahun 1549 Arya Penangsang dengan dukungan gurunya, yaitu Sunan Kudus, membalas kematian Raden Kikin dengan mengirim utusan bernama Rangkud untuk membunuh Sunan Prawoto dengan Keris Kyai Setan Kober. Rangkud sendiri tewas pula, saling bunuh dengan korbannya itu.

Ratu Kalinyamat, adik Sunan Prawoto, menemukan bukti kalau Sunan Kudus terlibat pembunuhan kakaknya. Ia datang ke Kudusmeminta pertanggungjawaban. Namun jawaban Sunan Kudus bahwa Sunan Prawoto mati karena karma membuat Ratu Kalinyamat kecewa.

Ratu Kalinyamat bersama suaminya pulang ke Jepara. Di tengah jalan mereka diserbu anak buah Arya Penangsang. Ratu Kalinyamat berhasil lolos, sedangkan suaminya, yang bernama Pangeran Hadari, terbunuh.

Arya Penangsang kemudian mengirim empat orang utusan membunuh saingan beratnya, yaitu Hadiwijaya, menantu Sultan Trengganayang menjadi bupati Pajang. Meskipun keempatnya dibekali keris pusaka Kyai Setan Kober, namun, mereka tetap dapat dikalahkan Hadiwijaya dan dipulangkan secara hormat.

Hadiwijaya ganti mendatangi Arya Penangsang untuk mengembalikan keris Kyai Setan Kober. Keduanya lalu terlibat pertengkaran dan didamaikan Sunan Kudus. Hadiwijaya kemudian pamit pulang, sedangkan Sunan Kudus menyuruh Penangsang berpuasa 40 hari untuk menghilangkan Tuah Rajah Kalacakra yang sebenarnya akan digunakan untuk menjebak Hadiwijaya tetapi malah mengenai Arya Penangsang sendiri pada waktu bertengkar dengan Hadiwijaya karena emosi Aryo Penangsang sendiri yang labil.

Mengenai Tuah Rajah Kalacakra, rajah ini sebenarnya dipasang oleh Sunan Kudus (yang adalah guru dari Arya Penangsang) untuk menjebak Hadiwijaya, dan rajah ini ditulis di atas kursi yang sebenarnya disediakan untuk Hadiwijaya. Namun Hadiwijaya berhasil mengetahui jebakan ini, dan malah dengan cerdiknya membuat Arya Penangsang duduk di atas jebakan yang dipasang gurunya sendiri. Arya Penangsang dan Hadiwijaya akhirnya saling bertengkar, dan di tengah-tengah emosinya, Arya Penangsang mencabut keris Setan Kober untuk membunuh Hadiwijaya. Sunan Kudus berusaha melerai, dengan menyuruh Arya Penangsang untuk menyarungkan kerisnya. Maksud Sunan Kudus yang sebenarnya adalah menyuruh muridnya "menyarungkan" kerisnya ke perut Hadiwijaya, namun Arya Penangsang gagal menangkap maksud gurunya, dan malah benar-benar menyarungkan Setan Kober ke warangkanya. Hadiwijaya lantas pamit pulang, dan terhindar dari tipu muslihat Arya Penangsang dan gurunya.

Sayembara

Dalam perjalanan pulang ke Pajang, rombongan Hadiwijaya singgah ke Gunung Danaraja tempat Ratu Kalinyamat bertapa. Ratu Kalinyamat mendesak Hadiwijaya agar segera menumpas Arya Penangsang. Ia,, yang mengaku sebagai pewaris takhta Sunan Prawoto, berjanji akan menyerahkan Demak dan Jepara jika Hadiwijaya menang.

Hadiwijaya segan memerangi Penangsang secara langsung karena merasa sebagai sama-sama murid Sunan Kudus dan sesama anggota keluarga Demak. Maka diumumkanlah sayembara, barangsiapa dapat membunuh bupati Jipang tersebut, akan memperoleh hadiah berupa tanah Pati dan Mataram.

Kedua kakak angkat Hadiwijaya, yaitu Ki Ageng Pemanahan dan Ki Panjawi mendaftar sayembara. Hadiwijaya memberikan pasukanPajang dan memberikan Tombak Kyai Plered untuk membantu karena anak angkatnya, yaitu Sutawijaya (putra kandung Ki Ageng Pemanahan ikut serta.

Kematian

Ketika pasukan Pajang datang menyerang Jipang, Arya Penangsang sedang akan berbuka setelah keberhasilannya berpuasa 40 hari. Surat tantangan atas nama Hadiwijaya membuatnya tidak mampu menahan emosi. Apalagi surat tantangan itu dibawa oleh pekatik-nya (pemelihara kuda) yang sebelumnya sudah dipotong telinganya oleh Pemanahan dan Penjawi. Meskipun sudah disabarkan Arya Mataram, Penangsang tetap berangkat ke medan perang menaiki kuda jantan yang bernama Gagak Rimang.

Kuda Gagak Rimang dengan penuh nafsu mengejar Sutawijaya yang mengendarai kuda betina, melompati bengawan. Perang antara pasukan Pajang dan Jipang terjadi di dekat Bengawan Sore. Akibatnya perut Arya Penangsang robek terkena tombak Kyai Plered milikSutawijaya. Meskipun demikian Penangsang tetap bertahan. Ususnya yang terburai dililitkannya pada gagang keris yang terselip di pinggang.

Penangsang berhasil meringkus Sutawijaya. Saat mencabut keris Setan Kober untuk membunuh Sutawijaya, usus Arya Penangsang terpotong sehingga menyebabkan kematiannya.

Dalam pertempuran itu Ki Matahun, patih Jipang, tewas pula, sedangkan Arya Mataram meloloskan diri. Sejak awal, Arya Matarammemang tidak pernah sependapat dengan kakaknya yang mudah marah itu.

Dampak budaya

Kisah kematian Arya Penangsang melahirkan tradisi baru dalam seni pakaian Jawa, khususnya busana pengantin pria. Pangkal kerisyang dipakai pengantin pria seringkali dihiasi untaian bunga mawar dan melati. Ini merupakan lambang pengingat supaya pengantin pria tidak berwatak pemarah dan ingin menang sendiri sebagaimana watak Arya Penangsang.

Kyai Juru Martani (lahir: ? - wafat: Mataram, 1615) adalah tokoh cerdik yang menjabat sebagai patih pertama dalam sejarah Kesultanan Mataram, bergelar Kyai Adipati Mandaraka.


 

Silsilah Ki Juru Martani

Ki Juru Martani adalah putra Ki Ageng Saba atau Ki Ageng Madepandan, putra Sunan Kedul, putra Sunan Giri anggota Walisangapendiri Giri Kedaton. Ibunya adalah putri dari Ki Ageng Sela, yang masih keturunan Brawijaya raja terakhir Majapahit (versi babad).

Juru Martani memiliki adik perempuan bernama Nyai Sabinah yang menikah dengan Ki Ageng Pamanahan, putra Ki Ageng Ngenis, putraKi Ageng Sela. Dengan demikian, Ki Ageng Pemanahan adalah adik sepupu sekaligus ipar Juru Martani.

Juru Martani memiliki beberapa orang anak yang menjadi bangsawan pada zaman Kesultanan Mataram, antara lain Pangeran Mandura dan Pangeran Juru Kiting.

Pangeran Mandura berputra Pangeran Mandurareja dan Pangeran Upasanta. Mandurareja pernah mencoba berkhianat pada pemerintahanSultan Agung tapi batal. Ia kemudian ikut menyerang Batavia yahun 1628 dan dihukum mati di sana bersama para panglima lainnya. Sementara itu Upasanta diangkat menjadi bupati Batang. Putrinya dinikahi Sultan Agung sebagai permaisuri, berputra Amangkurat I.


 


 

Peran Awal Ki Juru Martani

Nama Juru Martani muncul dalam Babad Tanah Jawi sebagai tokoh yang mendesak Ki Ageng Pemanahan dan Ki Panjawi agar berani mengikuti sayembara menumpas Arya Penangsang.

Arya Penangsang adalah bupati Jipang Panolan yang telah membunuh Sunan Prawoto raja Demak tahun 1549. Sayembara diadakan olehHadiwijaya bupati Pajang dengan hadiah, tanah Pati dan Mataram.

Ki Ageng Pemanahan dan Ki Panjawi semula tidak berani mengikuti sayembara karena takut pada kesaktian Arya Penangsang. Setelah Ki Juru Martani berjanji menjadi pengatur strategi, maka keduanya pun berangkat mendaftar.

Strategi untuk Membunuh Arya Penangsang

Strategi untuk mengalahkan adipati Jipang disusun rapi oleh Juru Martani. Mula-mula Ki Ageng Pemanahan dan Ki Panjawi mendaftar sayembara sambil membawa serta Sutawijaya (putra kandung Ki Ageng Pemanahan). Hadiwijaya merasa tidak tega karena Sutawijayatelah menjadi anak angkatnya. Maka, ia pun memberikan pasukan Pajang untuk mengawal Sutawijaya.

Pasukan Ki Ageng Pemanahan dan Ki Panjawi yang terdiri atas gabungan orang Pajang dan Sela berangkat dan menunggu di sebelah barat Sungai Bengawan Sore. Juru Martani melarang mereka menyeberang karena sungai tersebut sudah dimantrai oleh Sunan Kudus, guru Arya Penangsang.

Juru Martani kemudian menangkap tukang kuda musuh yang sedang mencari rumput. Telinga orang itu dipotong dan ditempeli surat tantangan atas nama Hadiwijaya.

Si tukang kuda pulang ke kadipaten Jipang melapor pada majikannya. Arya Penangsang marah melihat pembantunya dilukai, apalagi terdapat surat tantangan agar Arya Penangsang bertarung tanpa kawan melawan Hadiwijaya di tepi Sungai Bengawan Sore.

Arya Penangsang tidak kuasa menahan emosi. Ia pun berangkat melayani tantangan musuh. Siasat Juru Martani berhasil. Apabila surat tantangan dibuat atas nama Ki Ageng Pemanahan atau Ki Panjawi, pasti Arya Penangsang tidak sudi berangkat.

Arya Penangsang tiba di tepi timur Bengawan Sore berteriak-teriak menantang Hadiwijaya. Ia tidak berani menyeberang karena ingat pesan Sunan Kudus. Namun Juru Martani sudah menyusun rencana jitu. Sutawijaya disuruh naik kuda betina yang sudah dipotong ekornya.

Akibatnya, kuda jantan milik Arya Penangsang yang bernama Gagak Rimang bisa melihat alat vital si kuda betina. Kuda tersebut menjadi liar dan tidak terkendali sehingga membawa Arya Penangsang menyeberangi sungai mengejar kuda milik Sutawijaya.

Ketika Arya Penangsang baru saja mencapai tepi barat, Sutawijaya segera menusuk perutnya menggunakan tombak Kyai Plered. PerutArya Penangsang robek dan ususnya terburai. Namun ia masih bertahan. Ususnya itu disampirkan pada pangkal keris pusakanya.

Arya Penangsang yang sudah terluka parah masih bisa meringkus Sutawijaya. Sutawijaya dicekik sampai tidak berdaya. Juru Martani meneriaki Arya Penangsang agar bertarung secara adil. Karena Sutawijaya bersenjata tombak pusaka Kyai Plered, maka ia juga harus memakai pusaka jika ingin membunuh Sutawijaya.

Maka, Arya Penangsang pun mencabut keris pusaka Kyai Setan Kober yang terselip di pinggangnya. Akibatnya, usus yang tersampir di pangkal keris tersebut ikut terpotong, sehingga Arya Penangsang pun menemui kematiannya.

Pasukan Jipang dipimpin Patih Matahun datang menyusul majikan mereka. Melihat Arya Penangsang tewas, mereka pun menyerbu untuk bela pati. Kesemuanya itu dapat ditumpas oleh Ki Ageng Pemanahan dan Ki Panjawi.

Sayembara telah usai. Ki Juru Martani menyusun laporan palsu bahwa, Arya Penangsang mati dikeroyok Ki Ageng Pemanahan dan Ki Panjawi. Apabila Hadiwijaya di Pajang mengetahui kalau pembunuh sebenarnya adalah Sutawijaya, tentu ia akan lupa memberi hadiah tanah Mataram dan Pati, mengingat Sutawijaya adalah anak angkat Hadiwijaya.


 


 

Ki Juru Martani Sebagai Penasihat Sutawijaya

Setelah mengalahkan Arya Penangsang tahun 1549, Ki Ageng Pemanahan baru mendapatkan tanah Mataram sejak tahun 1556. Ki Juru Martani ikut bergabung di desa itu. Ki Ageng Pemanahan meninggal tahun 1575, digantikan Sutawijaya, yang berambisi menjadikanMataram sebagai kerajaan merdeka.

Ki Juru Martani menjadi penasihat Sutawijaya. Ia juga mendukung perjuangan Sutawijaya selama masih berada pada jalan yang benar. Juru Martani pun berangkat bertapa ke puncak Gunung Merapi meminta bantuan penguasa di sana. Hasilnya, ketika terjadi perang melawan Pajang tahun 1582, Gunung Merapi tiba-tiba meletus dan memuntahkan laharnya menyapu pasukan Sultan Hadiwijaya.

Kesaktian Ki Juru Martani

Juru Martani tidak hanya dikisahkan cerdik, tapi juga memiliki kesaktian tinggi, meskipun tidak pernah diceritakan bertarung melawan musuh.

Babad Tanah Jawi mengisahkan, Sutawijaya memiliki putra sulung bernama Raden Rangga yang suka memamerkan kesaktiannya. Suatu hari Raden Rangga disuruh pergi ke rumah Juru Martani untuk berguru. Pemuda itu pun berangkat dengan setengah hati karena merasa lebih kuat dari pada Juru Martani.

Sesampainya di tujuan, Juru Martani sedang salat. Raden Rangga menunggu di teras mushala sambil iseng melubangi batu lantai menggunakan jari. Juru Martani muncul dari dalam dan mengatakan kalau batu mushala tersebut keras jadi jangan buat mainan. Seketika itu juga, Raden Rangga tidak mampu lagi melubangi batu mushala dengan jarinya.

Sejak itu, Raden Rangga berguru pada Juru Martani dengan sepenuh hati karena ia yakin kalau orang tua yang dianggapnya lemah dan tidak pernah bertarung itu ternyata menyimpan kesaktian yang luar biasa.

Akhir Hayat Ki Juru Martani

Ki Juru Martani menjabat sebagai patih Kesultanan Mataram sejak pemerintahan Sutawijaya tahun 1586-1601. Dilanjutkan pemerintahanMas Jolang putra Sutawijaya yang memerintah tahun 1601-1613. Lalu digantikan oleh Adipati Martapura putra Mas Jolang yang menjadi raja satu hari, dan dilanjutkan Sultan Agung putra Mas Jolang lainnya yang naik takhta sejak tahun 1613.

Kyai Juru Martani alias Adipati Mandaraka meninggal dunia pada tahun 1615. Kedudukannya sebagai patih Mataram kemudian digantikan oleh Tumenggung Singaranu. Dengan demikian, Juru Martani mengabdi di Mataram dalam waktu yang sangat lama, yaitu ikut membukaAlas Mentaok menjadi desa Mataram, sampai awal pemerintahan Sultan Agung, cicit Ki Ageng Pemanahan.

Sultan Agung memerintah sampai tahun 1645 kemudian digantikan oleh putranya, bergelar Amangkurat I yang lahir dari permaisuri keturunan Ki Juru Martani.